Selasa, 29 November 2011

BPS: 27,12 Juta Penduduk RI 'Nyaris' Miskin



Kamis, 07/07/2011 10:30 WIB
Ramdhania El Hida - detikFinance




Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sebanyak 27,12 juta penduduk Indonesia rentan masuk kategori miskin. Saat ini pemerintah dituntut agar menjaga penduduk tersebut agar tak jatuh miskin, Demikian disampaikan Direktur Ketahanan Sosial BPS Hamonangan Ritonga saat dihubungi detikFinance, Kamis (7/7/2011).
 "Jadi penduduk miskin kita kan terdata kemarin 30,02 juta orang, ada 27,12 juta orang hampir miskin. Jadi sebetulnya yang perlu diperhatikan pemerintah itu sekitar 50 juta," ungkapnya. Hamonangan menyatakan penduduk yang tergolong hampir miskin ini bisa dikatakan rentan miskin. Ketika harga dinaikkan sehingga inflasi meningkat, maka penduduk golongan ini bisa langsung jatuh miskin. "Hampir miskin ini rentan jadi miskin karena mereka dekat-dekat dengan jatuh miskin nggak jauh dari kemiskinan, sekalinya inflasi meningkat, kenaikan harga, tiba-tiba BBM bersubsidi dinaikkan, harga beras naik dan pemberian raskin terganggu, langsung jatuh miskin mereka," ungkapnya. Pendapatan per kapita dari penduduk yang rentan miskin ini, lanjut Hamonangan, berkisar antara Rp 233 ribu hingga Rp 280 ribu per bulan. "Sekitar 20 persen kali Rp 233 ribu, jadi Rp 280 ribu, jadi antara Rp 233-280 ribu pendapatan per kapita per bulan," jelasnya.

Hamonangan menyatakan harga beras sangat mempengaruhi kehidupan para penduduk miskin dan hampir miskin ini. Pasalnya, hampir seperempat pendapatan per kapita golongan tersebut dihabiskan untuk membeli beras. "Di perkotaan 25 persen pendapatannya untuk beli beras, apalagi di desa, penduduk miskinnya menghabiskan 35 persen pendapatannya," katanya. Menurut Hamonangan, pertumbuhan di kisaran 6 persen tampaknya masih memberikan dampak kenaikan jumlah penduduk hampir miskin. Jadi pencapaian penurunan penduduk miskin sebesar 1 juta orang justru menaikkan jumlah penduduk hampir miskin.

"Pertumbuhan ekonomi yang dicapai sekarang itu memang berpotensi meningkatnya penduduk hampir miskin. Jadi yang kurang 1 juta itu bergeser ke hampir miskin, kalau harga naik, dia bisa miskin lagi," jelasnya. Untuk itu, Hamonangan menyatakan perlunya upaya pemerintah dalam menjaga harga agar penduduk yang rentan menjadi miskin ini tidak terpuruk menjadi penduduk miskin. "Sekarang memang ada program pemerintah untuk masyarakat miskin, tetapi ada program seperti program Keluarga Harapan hanya diperuntukkan untuk orang fakir karena biayanya besar. Ada program yang diberikan hanya untuk orang miskin, padahal ketika harga naik, suami meninggal, golongan hampir miskin ini bisa jatuh miskin. Belum lagi pemberian raskin yang kurang tepat sasaran, masih dipukul rata," tegasnya

Setelah Pangan, Duit Orang Miskin Habis untuk Beli Rokok


Jumat, 01/07/2011 14:30 WIB
Ramdhania El Hida - detikFinance



Jakarta, Salah satu ciri orang miskin adalah menghabiskan sebagian besar pendapatannya untuk membeli pangan. Sayangnya untuk di Indonesia, pengeluaran terbesar kedua orang miskin ternyata adalah untuk membeli rokok. "Ciri orang miskin pengeluaran makanan lebih tinggi dibandingkan yang lain dan orang bukan miskin," ujar Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Rusman Heriawan dalam jumpa pers di kantornya, Jalan Dr. Sutomo, Jakarta, Jumat (1/7/2011).

Berdasarkan data BPS, Rusman menyampaikan selain untuk membeli beras, penghasilan orang miskin dikeluarkan untuk membeli rokok. Untuk membeli beras, masyarakat miskin di kota menghabiskan 25,44 persen, sedangkan masyarakat desa menghabiskan 32,81 persen. Sementara untuk rokok, masyarakat miskin di kota mengeluarkan 7,7 persen dan di desa 6,3 persen. "Ya, ini yang mengecewakan ya, dua terbesar pengeluaran malah dihabiskan untuk rokok. Padahal rokok gak ada kalorinya," tegasnya. Untuk komoditi lain, sumbangan terbesar garis kemiskinan adalah telur ayam ras 3,41 persen di perkotaan dan 2,47 persen untuk pedesaan, gula pasir 2,84 persen untuk perkotaan dan 3,89 persen untuk pedesaan, mie instan 2,73 untuk perkotaan dan 2,33 persen untuk pedesaan.

Sementara komoditi bukan makanan yang memberi sumbangan besar untuk garis kemiskinan adalah biaya perumahan dimana biaya terbesar dikeluarkan bagi masyarakatkan miskin di perkotaan yaitu 8,85 persen sedangkan di pedesaan sebesar 6,653 persen, listrik perkotaan 3,48 persen dan pedesaan sebesar 1,92 persen, pendidikan 2,77 persen di perkotaan dan 1,45 persen untuk perdesaan. Angkutan 2,61 persen di perkotaan dan 1,25 persen di desa, bensin 2,02 di kota dan 1,54 persen di desa. "Jadi untuk yang komoditi bukan makanan, di kota lebih besar, karena untuk angkutan dan bensin, masyarakat kota lebih mobile," pungkasnya.

Keluarga Miskin Terperangkap Rokok


Penelitian LD FE UI
Maria Natalia | Inggried | Rabu, 27 Juli 2011 | 15:17 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Peneliti Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi UI, Abdillah Ahsan, mengungkapkan, konsumsi rokok paling banyak justru terdapat di keluarga miskin. Hal ini berdasarkan perhitungan pada tahun 2009 yang menyebutkan bahwa 68 persen keluarga miskin memiliki pengeluaran untuk rokok paling banyak. "Ini sangat menyedihkan karena enam dari sepuluh rumah tangga termiskin di Indonesia mengeluarkan uangnya untuk membeli rokok”. Pengeluaran rokok ini akan membebani ekonomi rumah tangga termiskin dan mengorbankan pengeluaran lainnya yang jauh lebih penting," ujar Abdillah dalam pemaparan penelitian terkait perkembangan konsumsi rokok dan bea cukai industri rokok di Indonesia, Rabu (27/7/2011) di Jakarta.

Ia merujuk pada perhitungan sederhana untuk konsumsi rokok yang terjadi di Indonesia, yaitu:
1.      Konsumsi rokok per hari diperkirakan satu bungkus rokok menghabiskan uang senilai Rp 10.000.
2.      Dari harga tersebut, maka konsumsi rokok per bulan sebanyak 30 bungkus menghabiskan uang senilai Rp 300.000.
3.      Dalam satu tahun, seorang perokok menghabiskan 360 bungkus rokok. Uang yang dihabiskan menjadi Rp 3.600.000.

"Jika seseorang mengonsumsi rokok per 10 tahun sebanyak 3.600 bungkus, maka sama dengan menghabiskan Rp 36 juta. Biaya ini lebih besar dari biaya haji, biaya sekolah S-1 Universitas Indonesia, membayar uang muka rumah, dan renovasi rumah. Jadi mereka lebih memilih rokok daripada pendidikan atau umrah," tambah Abdillah. Lembaga Demografi juga menyebutkan, akibat konsumsi rokok yang tinggi pada keluarga miskin, mereka kehilangan beberapa kesempatan penting, yaitu pembelian rokok 11 kali lebih banyak daripada membeli daging untuk konsumsi keluarga. Bahkan, pengeluaran rokok juga tujuh kali lebih besar daripada pembelian buah-buahan untuk dikonsumsi.

Keluarga miskin, ungkap Abdillah, juga menghabiskan enam kali lebih banyak untuk membeli rokok daripada biaya pendidikan. Sisanya, lima kali lebih besar biaya rokok daripada biaya membeli telur, susu, dan biaya kesehatan. Biaya rokok juga dua kali lebih besar daripada membeli dan mengonsumsi ikan. "Mereka lebih memilih rokok dari pada mencarikan susu, daging, dan buah untuk keluarga, terutama anak-anak. Termasuk biaya pendidikan yang dikesampingkan," tukasnya.

Indonesia Rangking Pertama Dunia dari Ancaman Tsunami & Longsor

Rabu, 10/08/2011 10:51 WIB
Niken Widya Yunita - detikNews (www.detik.com)

Jakarta, data dari Badan PBB untuk Strategi Internasional Pengurangan Risiko Bencana (UN-ISDR) harus diwaspadai. Sebab mereka menyebutkan, Indonesia berada dalam posisi puncak dunia dari ancaman tsunami. Sebanyak 5.402.239 orang bisa kena dampaknya.

Rilis yang diterima detikcom, Rabu (10/8/2011), juga memaparkan, Indonesia merupakan salah satu negara yang paling rawan terhadap bencana di dunia. Indonesia memiliki berbagai jenis bencana seperti gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, banjir, tanah longsor, kekeringan dan kebakaran hutan.

Data dari UN-ISDR menyebutkan bahwa dalam paparan terhadap penduduk atau jumlah manusia yang ada di daerah yang mungkin kehilangan nyawa karena bencana, Indonesia sangat tinggi risiko bencananya.

Berikut urutan rangking Indonesia dari paparan bencana per jenis bencana di dunia:
1.     Untuk bencana tsunami, Indonesia adalah rangking pertama dari 265 negara dengan jumlah 5.402.239 orang yang akan terkena dampaknya.
2.   Untuk bencana tanah longsor, Indonesia rangking pertama dari 162 negara dengan 197.372 orang terkena dampaknya.
3.   Untuk bencana gempa bumi, Indonesia adalah rangking ketiga dari 153 negara dengan 11.056.806 orang terkena dampaknya.
4.  Untuk bencana banjir, Indonesia rangking keenam dari 162 negara dengan 1.101.507 orang terkena dampaknya.
(nik/nrl)






HIV-AIDS dan stigma yang tak kunjung padam


Di Indonesia HIV-AIDS ditemukan pada tahun 80-an dan mulai ada laporan kasus sejak tahun 1987. ) Laporan yang dirilis Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2M) situasi perkembangan HIV & AIDS di Indonesia sampai dengan Juni 2011 jumlah kumulatif orang yang terinfeksi  HIV di Indonesia sebanyak 66.693 orang. Sedangkan jumlah kumulatif AIDS di Indonesia sebanyak 26.483 kasus yang berasal dari 33 propinsi dan 300 kabupaten/kota yang melaporkan. Di Jawa Tengah jumlah kumulatif Orang dengan HIV-AIDS (ODHA)  tercatat sebanyak 3.059 orang.

Jumlah itu belum dapat menggambarkan kondisi HIV-AIDS yang sesungguhnya.  Hal ini disebabkan karena, HIV-AIDS ini merupakan syndrome yang menular. Seperti yang berlaku untuk penyakit-penyakit menular lainnya, maka dalam syndrome HIV-AIDS ini berlaku teori fenomena gunung es. Maksudnya laju penyebaran HIV-AIDS bisa jadi seperti gunung es didalam lautan. Wujud yang terlihat hanya puncak gunungnya yang kecil, sedangkan badan gunungnya yang besar tertutup air laut.

Pada awal ditemukan HIV-AIDS di klaim sebagai syndrome yang belum ada obatnya. Saat ini kesimpulan itu memang belum bisa dirubah. Akan tetapi atas perjuangan gigih para ahli kesehatan dunia virus HIV saat ini sudah bisa dikendalikan melalui therapy ARV (anti retrovirus).

Yayasan SHEEP Indonesia (YSI) melakukan pendampingan ODHA di 5 kabupaten di Jawa Tengah yaitu: Kabupaten Pati, Blora, Grobogan, Rembang dan Kudus. ODHA yang didampingi sebagian besar perempuan. Mereka tertular dari suami yang sering berganti pasangan, tertular dari pasangan seksualnya dan ada juga anak-anak yang tertular dari ibunya.

Secara geografis, kebanyakan mereka tinggal dipedesaan. Secara ekonomi, rata-rata mereka merupakan masyarakat miskin. Dalam konteks pendidikan, banyak diantara mereka yang tidak lulus Sekolah Dasar (SD); hanya beberapa yang lulus Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA).

Sejak pertama ditemukan, ODHA selalu mendapatkan beban ganda. Satu sisi mereka mendapatkan beban atas tertularnya virus yang tidak ada obatnya, secara psikologis mereka juga lebih tertekan dikarenakan stigma dan diskriminasi yang didapatkan mereka dari masyarakat yang rata-rata tidak memahami dengan benar persoalan HIV-AIDS.

Dalam pertemuan rutin setiap satu bulan sekali yang dilakukan Rumah Matahari; sebuah organisasi ODHA di secretariat Yayasan SHEEP Indonesia, cerita-cerita stigma dan diskriminasi yang dihadapi ODHA selalu muncul; mulai dari yang ditolak keluaranya, hingga yang ditolak masyarakat. Hal ini biasanya disebabkan pengetahuan masyarakat tentang HIV-AIDS yang minim. Factor yang lain adalah soal instansi kesehatan yang tidak mampu menjaga kode etik mereka tentang kerahasiaan pasien. Biasanya, justru para petugas kesehatan di puskesmas dan bidan desa yang justru melakukan kampanye kepada masyarakat terkait keberadaan ODHA dilingkungannya. Tidak hanya sebatas kampanye, akan tetapi mereka juga sering berposisi sebagai motor penggerak perlakuan diskriminatif di masyarakat terhadap ODHA. Aparat desa juga tidak ketinggalan. Sebagai penguasa teritori desa, biasanya mereka berperan memberikan informasi keliling desa soal ancaman penularah HIV-AIDS dari ODHA yang tinggal didesanya. Disisi lain, tidak ada pihak yang bersedia memberikan penjelasan secara sederhana dan jelas kepada masyarakat. Sungguh merupakan hal yang tragis dan naïf! (Tina)


Pertanian Vertikultur


Halaman atau pekarangan rumah yang  terbatas merupakan persoalan ketika keinginan untuk menyejukan rumah.  Keindahan dan kesejukan yang dapat dinikmati, lalu bagai mana jika bibit bunga yang mahal diganti dengan hortikul ?, selain mendapat kesejukan dan keindahan tetapi juga dapat menikmatinya, dijual dan bahkan bisa berbagi dengan tetangga. Apalagi dengan perlakuan organik, akan lebih sehat pastinya.
Persoalan lahan yang sempit dipekarangan dapat teratasi dengan membuat vertikultur. Istilah vertikultur dari bahasa Inggris dari kata vertical dan culture yang artinya teknik budidaya tanaman secara vertikal sehingga penanamannya menggunakan sistem bertingkat. Dan tujuan utamanya adalah menggunakan lahan yang sempit secara optimal. Dsekilas teknik ini terlalu rumit, tetapi sangat mudah di praktekkan. Dan memang investasi yang dibutuhkan untuk teknik ini jauh lebih tinggi. Namun, dengan produksi yang lebih tinggi karena populasi tanaman yang lebih banyak maka investasi dapat tertutupi. Kelebihan sistem vertikultur lebih banyak dibanding kekurangannya.
Kelebihan
Kekurangan
1.Bangunan vertikultur dapat dipindah – pindah.
2. penyiangan gulma berkurang.
3. Ada nilai estetika.
4. Bahan dapat menggunkan bahan bekas, misalnya pipa peralon, batang bambu, karung, dll.
5. Hilangnya pupuk oleh guyuran air hujan dapat terkurangi.
6. Disterilisasi media tanam dapat mengurangi resikao serangan hama dan poenyakit yang mengurangi biaya pengendalian.
7. Populasi tanaman persatuan luas lebih banyak karena disusun keatas.

1. Karena jarak tanaman yang rapat, tercipta kelembaban yang tinggi,menjadikan rentan terhadap serangan penyakit akibat cendawan.
2. Biaya awal cukup tinggi karena harus membuat struktur banguanan khusus dan media tanam.
3. media cepat kering jadi setiap 1 – 2 hari harus disiram.

Dalam bercocock tanam vertikultur, yang harus diperhatikan adalah dua hal; yakni soal media tanam dan proses penanaman-perawatan tanaman. Berikut beberapa tips yang bisa dilakukan:
A.      Media tanam
1.       Memilih bahan
Dalam memilih bangunan tergantung kesediaan bahan yang ada disekitar. Bangunan ini bisa terbuat dari bambu, potongan kayu, gerabah, pipa peralon, karpet talang, karung plastik bekas dan polybag. Untuk karpet talang mempunyai sifat kuat dan awet sehingga dapat diguanakan sampai 4 – 5 tahun, tetapi agak mahal. Kalau karung plastik bekas bungkus beras, kurang awet hanya dapat dipakai satu kali tanam saja. Dapat juga menggunakan polybag dengan ukuran 40 cm yang masih rol (belum dipotong), atau jika sudah dipotong disambung menggunakan setrika. Tiga polybag cukup dengan ketinggian kurang lebih 110 cm, dua yang mau disambung dipotong dulu bagian bawahnya baru setelah berlubang disambung. Dengan ini mungkin lebih praktis dan murah.
2.       Pembuatan bangunan vertikultur
Jika menggunakan karung plastik / polybag pilih yang berdiameter 30 cm dan panjang 100 cm. Jika menggunakan karung plastik (sak ), potong dekat jahitan kemudian di jepit menggunakan bilah bambu biar dapat berdiri dengan kuat. Begitu jika menggunakan karpet talang juga dijepit dengan bilah bambu dengan cara dipaku. Jika menggunakan polybag yang disambung pun setelah diisi media juga dipasang bambu biar tidak roboh. Dalam pembuatan ini ukuran pun sama diameter 30 cm dan tinggi 100 cm. Untuk mencapai dia meter 30 cm potongan lebar harus 100 cm, padahal  jika menggunakan karpet talang lebar maksimal hanya 90 cm jadi paling ukuran diameter 28 cm.
3.       Pembuatan lubang tanam
Pembuatan lubang tanam menggunakan pisau cutter, setelah diisi dengan media tanam. Lubang tanam dapat berbentuk bulat denagndiameter 2 cm atau segitiga sama sisi dengan panjang sisi 3 cm. Jumlah lubang sebanyak 6 buah lubang dengan pengaturan selang – seling sehingga nantinya tidak saling menutupi. Lubang tanam paling bawah berjarak 10 cm begitu juga yang paling atas .
4.       Penentuan jarak antar bangunan
Jarak bangunan anatara yang satu dengan yang alinnya harus cukup agar tidak bersinggungan. Jarak 100 X 100 cm sudah cukup ideal apalagi untuk tidak bersinggungan. Letak bangunan harus ditata teratur untuk memudahkan perawatan terutama penyiramman.
B.      Proses Menanam
1.      Penyemaian benih
Untuk cabai direndam  dengan air bersuhu 50 dc (suam kuku ) selama 12 jam / semalam. Benih yang terendam yang digunakan. Media semai dengan ppupuk kandang  dan pada umur 19 hari  cabai sudah berdaun 8 helai. Sebelumnya media semai disiram dengan air panas untuk setirilisasi. Setelah dingin baru ditebarkan dan ditutup dengan plastik untuk memberi hangat dan kelembaban.setiap hari plastik dibuka saat menyiram. Setelah benih berkecambah umur 3 – 4 hari plastik dibuka. Penyiraman dengan sprayer agar tidak merusak tanaman. Untuk tomat, terong  dan sawi tidak perlu untuk direndam biasa sawi akan tumbuh setelah umur 2 – 3 hari.
2.       Penanaman
Pemindahan bibit dilakukan pada pagi hari lebih baik jika  sore karena dapat adaptasi semalaman selain itu untuk mengurangi penguapan. Pemindahan harus hati – hati untuk mencegah resiko kematian dan stres karena salah satu penyebab stres adalah akar yang terputus. Sebelum bibit dicabut bibit harus disiranm dahulu agar mudah dicongkel dengan sendok juga termasuk penanaman. Penanaman dengan kemiringan 45 derajad.
3.       Pemeliharaan
Untuk penyulaman juga dilakukan sore hari biar beradaptasi 12 jam dan tidak terkena sinar matahari.Untuk penyiraman disesuaikan dengan kondisi / umur tananman yang jelas jangan terlalu becek supaya tidak mudah terserang penyakit,cendawan/ jamur. Untuk musim panas sesering mungkin dilakukan penyiraman. Penyiraman dilakukan ditengah atau pada sekam.

4.       Analisa usaha
Dalam pembuatan vertikulture setiap bangun
Bahan
Harga
Kebutuhan
Jumlah
karpet talang
@Rp.20.000/m
1m x1m
Rp.20.000
Tanah
@Rp.7.500/sak
3 sak
Rp.22.500
bambu
Rp.1.000

Rp.1.000
Bibit tomat
@Rp.40x8
Rp.350
Rp.350
jumlah


Rp.43.550

Jadi dalam pembuatan vertikultur dalam setiap media membutuhkan biaya Rp.43.550,dan setiap batang tomat menghasilkan 1,5 - 2kg buah tomat. Setiap bangun vertikultur ada delapan batang jadi tinggal mengalikan 8 x 2 x 5000 = 80.000. Memungkinkan keuntungan didapat dengan harga minimal  Rp.5000/kg .
5.       Kendala
Dalam pembuatan vertikultur yang sangat rutin dilakukan adalah penyiraman apalagi dengan media yang sempit akan mempercepat kekeringan media.Untuk mengurangi penguapan dapat menggunakan paranet sebagai naungan tetapi beayanya mahal. Begitu juga hama, untuk musim kemarau hama yang sering menyerang adalah oret – oret yang berada didalam daun, begitu juga dengan kriting pada daun ini yang akan menyebabkan kegagalan dalam panen. Keriting daun dapat disebabkan dengan hama trip,media tanah,dan kurang intensitasnya sinar matahari dan pola penyiraman yang salah. Hama trip ini yang kadang susah untuk diatasi tetapi dengan rutinnya penyemprotan (biasa menggunakan pestisida nabati) dapat mengurangi populasi hama. Media tanam dengan perbandingan 1:1:1 antara sekam , tanah, dan pupuk kandang sedangkan yang harus diperhatikan adalah pupuk kandang  yang harus sudah terurai dan jika belum akan menyebabkan keriting daun ataupun layu bakteri dan mati. Penyiraman yang dilakukan harus pagi hari karena tabung media tidak panas karena sinar matahari jika siang atau sore dan tabung belum dingin akan menyebabkan busuknya akar karena bagai disiram air panas dan ini dapat memyebabkan keriting daun. Begitu juga dengan sinar matahari pagi yang kurang cukup akan menyebabkan keriting  karena dau tak dapat mengolah makanan. [kaswanto-dari berbagai sumber]

JANGAN BUANG SAMPAH SEMBARANGAN DI SD PANGONAN I !



Perilaku tidak membuang sampah sembarangan ternyata mudah diucapkan dan dituliskan, namun sangat sulit dilakukan secara konsisten. Seperti halnya yang terjadi di SD Pangonan 01, Desa Gunungsari Kecamatan Tlogowungu Kabupaten Pati. “Buanglah Sampah Pada Tempatnya,”  begitu bunyi tulisan di papan yang sudah lusuh di pojok gedung sekolah dasar itu. Kontras dengan tulisan di papan, sampah berserakan di halaman sekolah. Kebanyakan merupakan plastic pembungkus makanan ringan yang dikonsumsi murid-murid sekolah itu.

Situasi diatas merupakan kesan pertama ketika Yayasan SHEEP Indonesia (YSI) berkunjung di sekolah itu. Kunjungan YSI terkait dengan rencana kerjasama antara YSi dengan pihak sekolah serta komite sekolah untuk program pengurangan risiko bencana (PRB). Setelah terbangun kesepakatan, YSI melalui staf pengorganisasian masyarakat yang bekerja dilapangan mulai melakukan diskusi-diskusi dengan pihak sekolah.  Dalam proses diskusi itu, kesan YSI tentang sampah di sekolah ini menjadi salah satu materi diskusi. Dalam proses selanjutnya, sekolah sepakat jika perlu diadakan program kerjasama terkait dengan pengelolaan sampah di sekolah. Targetnya sederhana; yakni membiasakan anak-anak didik untuk membuang sampah pada tempatnya.

Pengembangan program ini dimulai dengan memberikan penyuluhan pada murid-murid tentang apa yang disebut sampah, apa bahaya sampah sehingga perlu dikelola dengan hati-hati. Salanjutnya, murid-murid juga dikenalkan dengan metode pemilahan sampah organik dan non organik. Secara teknis sasaran program ini adalah murid kelas IV, V dan VI, dengan harapan mereka bisa mudah memahami dan menerapkan program pengelolaan sampah sehingga dapat menjadi contoh bagi adik kelasnya. Untuk menarik minat murid-murid, mereka diajak berkreasi dengan menggambar di tong sampah yang selanjutnya akan ditempatkan di kelas masing-masing. Hingga saat ini dampak yang dirasakan oleh pihak sekolah adalah perubahan di tingkat para murid; yaitu mereka sudah mulai membuang sampah pada tempat yang sudah disediakan. Untuk menjaga konsistensi para murid, guru-guru memberikan bimbingan dan melakukan pengawasan terhadap murid-muridnya.

Kegiatan pengelolaan sampah di SD Pangonan I ini merupakan salah satu program pendidikan lingkungan yang sedang dirintis YSI bersama sekolah tersebut. rangkaian kegiatan lainnya diantaranya adalah  pengenalan lingkungan sekolah, pengenalan sumber mata air yang dimanfaatkan sekolah serta  mengenal jenis tanaman di sekitar sekolah. Beberapa program tersebut harapannya dapat melatih siswa untuk mengenal lingkungannya sendiri sehingga sejak usia anak-anak  mereka sudah mulai belajar menjaga dan melestarikan lingkungannya.

KONSERVASI TAK SEKEDAR MENANAM


 Pelatihan Konservasi  Lahan Kritis  KONSERVASI TAK SEKEDAR MENANAM

Kebanyakan masyarakat, memahami konservasi sama dengan kegiatan menanam. Oleh karena itu, mayoritas program-program yang dikatakan konservasi sebenarnya adalah kegiatan penghijauan, lebih kecil lagi; hanya kegiatan menanam. Pemahaman ini tidak hanya berkembang di level masyarakat awam. Akan tetapi di level pemerintah hal yang sama juga terjadi. Padahal, melakukan penanaman tanpa berusaha melakukan perawatan apa gunanya?

Mensikapi fakta diatas, pada Tanggal 11- 12 Agustus 2011, Yayasan SHEEP Indonesia (YSI) program Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Masyarakat di Kawasan Muria (PRBBM-KM) mengadakan Pelatihan Konservasi Lahan Kritis. Kegiatan diselenggarakan di pelataran TPI (tempat pelelangan ikan) Desa Sambiroto yang saat ini sudah tidak difungsikan untuk proses pelelangan ikan. Pesertanya adalah perwakilan Paguyuban Nelayan Sejahtera Desa Sambiroto, perwakilan Kelompok Tani Tambak Miyoso Mino Desa Keboromo, perwakilan Kelompok Nelayan Tradisional Bino Makmur Desa Keboromo, Perwakilan Kelompok Tani Sumber Makmur Desa Jrahi, perwakilan komite sekolah SD Pangonan 01, serta perwakilan Mahasiswa Pecinta Alam Fakultas Hukum Universitas Muria Kudus (MAHUPA), juga beberapa staf lapangan YSI.

Kegiatan yang difasilitasi oleh Wasis Darudarmawan, S.Hut yang merupakan staf YSI ini berhasil membantu peserta menemukan makna konservasi yang tepat. Konservasi merupakan istilah asing yang sulit ditemukan padanan sederhana dalah bahasa Indonesia. Namun demikian, secara sederhana konservasi bisa diartikan sebagai upaya pelestarian lingkungan hidup, tetapi tetap memperhatikan manfaat yang dapat diperoleh pada saat itu dengan tetap mempertahankan keberadaan setiap komponen lingkungan agar tetap bisa dimanfaatkan dimasa yang akan datang.

Artinya, konservasi merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan manusia yang memiliki orientasi pelestarian lingkungan hidup. Kegiatan menanam pohon, membuat bio-pori, membuat kolam resapan di halaman rumah, melakukan upaya kebersihan lingkungan, semua itu merupakan bagian-bagian dari konservasi. Dalam konteks kebijakan pemerintah, kegiatan konservasi diatur di beberapa undang-undang dan peratural lainnya. Diantaranya adalah; UU 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, PP 68/1998 terkait pengelolaan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA), PP 7/1999 terkait pengawetan/perlindungan tumbuhan dan satwa, PP 8/1999 terkait pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar/TSL, PP 36/2010 terkait pengusahaan pariwisata alam di suaka margasatwa (SM), taman nasional (TN), taman hutan raya (Tahura) dan taman wisata alam (TWA).

Kegiatan pelatihan diakhiri dengan masing-masing perwakilan organisasi peserta membuat rencana tindak lanjut yang bisa dilakukan di wilayah masing-masing setelah mengikuti pelatihan. Ada yang berencana menanam mangrove di muara sungai, ada juga yang berencana mengganti lahan pertanian pegunungan mereka dari lahan pertanian semusim ke usaha menanami lahan mereka dnegan tanaman-tanaman keras yang akarnya kuat sehingga lahan pertanian tidak mudah longsor. [agung]