Selasa, 29 November 2011

HIV-AIDS dan stigma yang tak kunjung padam


Di Indonesia HIV-AIDS ditemukan pada tahun 80-an dan mulai ada laporan kasus sejak tahun 1987. ) Laporan yang dirilis Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2M) situasi perkembangan HIV & AIDS di Indonesia sampai dengan Juni 2011 jumlah kumulatif orang yang terinfeksi  HIV di Indonesia sebanyak 66.693 orang. Sedangkan jumlah kumulatif AIDS di Indonesia sebanyak 26.483 kasus yang berasal dari 33 propinsi dan 300 kabupaten/kota yang melaporkan. Di Jawa Tengah jumlah kumulatif Orang dengan HIV-AIDS (ODHA)  tercatat sebanyak 3.059 orang.

Jumlah itu belum dapat menggambarkan kondisi HIV-AIDS yang sesungguhnya.  Hal ini disebabkan karena, HIV-AIDS ini merupakan syndrome yang menular. Seperti yang berlaku untuk penyakit-penyakit menular lainnya, maka dalam syndrome HIV-AIDS ini berlaku teori fenomena gunung es. Maksudnya laju penyebaran HIV-AIDS bisa jadi seperti gunung es didalam lautan. Wujud yang terlihat hanya puncak gunungnya yang kecil, sedangkan badan gunungnya yang besar tertutup air laut.

Pada awal ditemukan HIV-AIDS di klaim sebagai syndrome yang belum ada obatnya. Saat ini kesimpulan itu memang belum bisa dirubah. Akan tetapi atas perjuangan gigih para ahli kesehatan dunia virus HIV saat ini sudah bisa dikendalikan melalui therapy ARV (anti retrovirus).

Yayasan SHEEP Indonesia (YSI) melakukan pendampingan ODHA di 5 kabupaten di Jawa Tengah yaitu: Kabupaten Pati, Blora, Grobogan, Rembang dan Kudus. ODHA yang didampingi sebagian besar perempuan. Mereka tertular dari suami yang sering berganti pasangan, tertular dari pasangan seksualnya dan ada juga anak-anak yang tertular dari ibunya.

Secara geografis, kebanyakan mereka tinggal dipedesaan. Secara ekonomi, rata-rata mereka merupakan masyarakat miskin. Dalam konteks pendidikan, banyak diantara mereka yang tidak lulus Sekolah Dasar (SD); hanya beberapa yang lulus Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA).

Sejak pertama ditemukan, ODHA selalu mendapatkan beban ganda. Satu sisi mereka mendapatkan beban atas tertularnya virus yang tidak ada obatnya, secara psikologis mereka juga lebih tertekan dikarenakan stigma dan diskriminasi yang didapatkan mereka dari masyarakat yang rata-rata tidak memahami dengan benar persoalan HIV-AIDS.

Dalam pertemuan rutin setiap satu bulan sekali yang dilakukan Rumah Matahari; sebuah organisasi ODHA di secretariat Yayasan SHEEP Indonesia, cerita-cerita stigma dan diskriminasi yang dihadapi ODHA selalu muncul; mulai dari yang ditolak keluaranya, hingga yang ditolak masyarakat. Hal ini biasanya disebabkan pengetahuan masyarakat tentang HIV-AIDS yang minim. Factor yang lain adalah soal instansi kesehatan yang tidak mampu menjaga kode etik mereka tentang kerahasiaan pasien. Biasanya, justru para petugas kesehatan di puskesmas dan bidan desa yang justru melakukan kampanye kepada masyarakat terkait keberadaan ODHA dilingkungannya. Tidak hanya sebatas kampanye, akan tetapi mereka juga sering berposisi sebagai motor penggerak perlakuan diskriminatif di masyarakat terhadap ODHA. Aparat desa juga tidak ketinggalan. Sebagai penguasa teritori desa, biasanya mereka berperan memberikan informasi keliling desa soal ancaman penularah HIV-AIDS dari ODHA yang tinggal didesanya. Disisi lain, tidak ada pihak yang bersedia memberikan penjelasan secara sederhana dan jelas kepada masyarakat. Sungguh merupakan hal yang tragis dan naïf! (Tina)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar